Bela
Oktober 22, 2010
Kumbakarna selalu dilambangkan sebagai ksatria yang membela tanah air, “wrong or right, this is my countryyyyyyyyyy” teriaknya sambil mencengkiwing para wanara dari Kiskendha. Meski akhirnya gugur di ujung panah Naracabala dan Guwawijaya, Kumbakarna memberikan kesan yang mendalam bagi pertempuran besar di Suwelagiri. Bahkan Ramawijaya memutuskan gencatan senjata di hari Kumbakarna gugur.
Kumbakarna di buku “Anak Bajang Menggiring Angin”
Di sisi lain, saudara kandungnya yang dikenal bijaksana bernama Wibisana, selalu dilambangkan sebagai pembela kebenaran. Dia memihak kebenaran sebagai nilai yang diyakininya ada di pihak Ramawijaya, meskipun dia harus diusir dengan marah oleh kakaknya Rahwana. Dia juga harus menyaksikan kakak kesayangannya, Kumbakarna mati dengan badan terpotong-potong. Jelang kematian Kumbakarna, Wibisana-lah yang dicari oleh raksasa yang tinggal potongan tubuh saja itu bergelundung-gelundung, meminta kelegaan restu dari Wibisana agar dia bisa naik ke Khayangan. Kumbakarna ingin berdamai dengan Wibisana di ujung nafasnya.
Di sebuah epik lain yang tak kalah hebat, ada Barbarika. Putera Gatotkaca yang membelot ke kubu Kurawa karena dia merasa iba dengan tumpasnya banyak pasukan Kurawa oleh para senapati Pandawa. Di hari-hari akhir perang Bharatayudha, dia meminta nasehat neneknya Hidimbi di tenda kurusetra, kata neneknya “Ikuti kata hatimu, bela yang lemah”. Esoknya dia tampil garang menggempur kakek dan ayahnya. Bima dan Gatotkaca terdesak kewalahan. Hingga akhirnya datang Sri Kresna melepaskan senjata Chakra menumpahkan darah pembela kaum lemah itu di padang Kuru.
Kumbakarna maupun Wibisana bukan bermusuhan karena perbedaan nilai, namun mereka harus saling rela menumpahkan darah demi memperjuangkan nilai yang dianutnya. Demikian halnya dengan Barbarika yang rela memuntahkan darahnya di padang Kuru demi nilai yang diyakininya benar, membela yang kalah, membela yang lemah meski harus berlawanan arah dengan Ayah, Kakek dan para leluhurnya. Barbarika tidak memusuhi Pandawa, dia hanya membela nilai yang dia yakini benar.
Di tengah labilnya negeri ini, sampeyan mau bela siapa?
8 Januari 2010 : Balairung
Januari 8, 2010
Siapa yang tahu, mengapa Gedung Pusat UGM dibangun menghadap ke utara dan membelakangi Keraton Yogyakarta?
Gedung Pusat menghadap ke utara (Merapi) itu bermakna menyambut datangnya Budha. Rakyat Majapahit percaya Budha ada tiga, yaitu Budha Utara(Budha dahulu), Budha Tengah (Budha sekarang), dan Budha Selatan (Budha yang akan datang). Mereka percaya Budha datang dari utara, dan Gedung Pusat menyambut Budha. Gedung berarsitektur Indisch itu dirancang oleh arsitek Ir. Hadinagoro, pangeran dari Keraton Yogyakarta. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Ir.Soekarno pada 19 Desember 1951.